Penulis: Fidelis | Editor: Felis
KABARLEBONG.COM – Harapan besar Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk mewujudkan ll swasembada pangan nasional melalui program Optimalisasi Lahan (Oplah) Non Rawa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, mendadak tercoreng.
Proyek bernilai Rp11,6 miliar ini kini dibayangi dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum pejabat daerah.
Program Oplah sejatinya dirancang untuk memperkuat ketahanan pangan lokal dengan memperbaiki saluran irigasi di desa-desa. Namun, kenyataan di lapangan justru menyedihkan.
Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang menjadi penerima bantuan, mengaku diminta menyetor 20 persen dari total dana proyek oleh oknum Kabid di Dinas Pertanian dan Perikanan (Disperkan) Lebong.
“Kami diminta menyerahkan uang ke dalam kantong kresek hitam. Katanya bagian untuk pejabat,” ujar salah satu petani kepada KabarLebong.com senin (13/10/2025) pagi.
Dugaan Pungli Dibongkar Kejari Periksa 60 Kelompok
Kasus ini kini tengah ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebong. Sebanyak 60 kelompok tani telah dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.
“Pemeriksaan sudah berjalan. Untuk hasilnya, tunggu saja,” kata Kasi Pidsus Kejari Lebong, Robby Rahditio Dharma .
Ia menambahkan, proyek Oplah mendapat pengawasan dari tim Datun Kejari Lebong karena masuk dalam program strategis nasional.
Pemuda Desak Transparansi Petani Diminta Kooperatif
Tokoh pemuda Lebong, Anjar, menyayangkan dugaan korupsi yang mengganggu program pemerintah pusat tersebut.
“Kalau benar ada fee 20 persen, itu jelas merugikan petani dan negara. Kelompok tani harus kooperatif. Jika tidak jujur, mereka bisa dijerat Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UU Tipikor,” tegasnya.
Pejabat Terkait Bungkam dan Membantah
Sementara itu, Kepala Disperkan Lebong, Hedi Parindo, menepis dugaan pemotongan dana tersebut.
“Dana langsung masuk ke rekening kelompok tani. Kalau ada pemotongan, saya tidak tahu-menahu. Tidak ada laporan resmi ke kami,” katanya.
Oknum Kabid yang dituding juga angkat bicara, membantah tuduhan tersebut.
“Saya tidak pernah minta fee. Tidak ada instruksi dari provinsi atau pusat soal itu,” ujarnya singkat.